Binocular Telescope

Monday, October 30, 2006

ratusan juta yang jatuh ke loket

Maraknya pungutan liar (pungli) menjadi sorotan utama dalam pelaksanaan arus mudik Lebaran di Pelabuhan Merak tahun ini. PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) sendiri seolah kewalahan menangani persoalan. Petugas di loket selalu kucing-kucingan dengan Direksi PT ASDP cabang Merak yang kerap melakukan inspeksi mendadak (sidak). Hasilnya, sidak tak pernah menemukan bukti konkret.


Masalahnya sepele, petugas loket tidak memberikan uang kembalian yang sesuai kepada penumpang. Apabila ada seorang penumpang membeli tiga tiket dengan total Rp 21.300 –harga tiket satu orang dewasa kelas ekonomi Rp 7.700 – maka oleh petugas akan dibulatkan menjadi Rp 25.000. Uang Rp 30.000 yang diberikan akan dikembalikan Rp 5.000 bukan Rp 8.700. Selisihnya memang hanya Rp 3.700. Namun, bagaimana kalau jumlah itu dikalikan dengan sekitar 160.000 penumpang yang menyeberang ke Lampung? Bisa dibayangkan berapa ratus juta potensi korupsi yang bisa diraup.

Hal serupa juga terjadi di loket penjualan tiket kendaraan umum baik sepeda motor dan mobil pribadi. Lebih parah, harga tiket sepeda motor yang hanya Rp 20.000 dijual hingga Rp 30.000-Rp 35.000.

Masalah ini sebenarnya bisa ditangani dengan mudah. PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) cabang Merak bisa menyiapkan uang kecil lebih banyak di setiap loket atau menyediakan kalkulator bagi para petugas loket agar tahu persis berapa uang yang harus dikembalikan. Kalau memang tidak ingin repot menghitung uang kembalian yang rumit, tarif bisa ditetapkan lebih bulat. Seluruh usaha ini tidak akan efektif tanpa pengawasan ketat dari jajaran direksi PT ASDP.

Tahun lalu, PT ASDP boleh bangga karena sudah bisa memecat dua petugasnya tahun lalu karena kasus yang sama. Tampaknya, kesuksesan itu tidak terulang pada Lebaran tahun ini.

Berkali-kali Direktur PT ASDP cabang Merak menampik tudingan adanya pungli, berkali-kali pula penumpang Pelabuhan Merak mengeluh soal uang kembalian yang tidak pernah sesuai.

Monday, October 23, 2006

pendongeng alam semesta

Langkah-langkah mereka bersiap menghadap Tuhan, dengan satu baju tercantik di lemari, aroma wangi tersedap dari koleksi yang ada, sarung dengan tenunan yang paling sempurna, dan kopiah aneka bordir.

Ke lapangan mereka menuju, mengumandangkan kalimat-kalimat pembesar, pengasih, pengampun, dan penyempurna bagi Dia yang telah mendongengkan hikayat umat bumi, hikayat alam semesta.

Dia yang Maha Pemaaf memeluk bongkahan es dalam hati tiap insan hingga mencair. Dia yang Maha Pemurah melimpahkan rezeki-Nya melalui saudagar-saudagar yang berhati sejuk kepada sang fakir. Dia yang Maha Bijak memercantik para perempuan dengan balutan busana panjang penuh warna hingga bagi sebagian orang, mereka dihormati sebagai makhluk yang anggun. Semoga ini bukan euforia sesaat, demi Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 Hijriah
Minal Aidin wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir Batin

Sunday, October 22, 2006

diam barang sedetik

Lima menit lagi...

Seseorang menyeruak dari kerumunan orang yang berdiri di belakang loket masuk. Keningnya berpeluh deras setelah mengantre sekian lama dari terminal menuju loket. Dia menyandang dua tas besar di bahu kiri dan kanannya. Istri dan kedua anaknya yang masih kecil telah menunggu di balik loket. Dengan jilbab sepanjang dada warna kuning pudar yang dikenakannya, dia menyeka keringat suaminya.

Tiga menit lagi...

Dari salah satu loket sebelah barat, muncul perempuan berdada aduhai dengan jaket jeans, celana jeans ketat, topi pet, sepatu Gosh, dan gincu merah terang. Dia bersama dua orang rekannya dengan dandanan hampir mirip. Meski peluh meluntrukan bedak yang ketebalan di wajah mereka, tak ada sedih dan duka yang terpancar. Bahkan tawa mereka membahana di seluruh terminal.

Satu menit lagi...

Seorang SPG masih sibuk membagi-bagikan serbuk penyegar pengganti ion tubuh dalam bentuk sachet kepada semua orang yang keluar dar loket. Kadang, dia memaksa orang yang lewat untuk menerima dua dus kecil berisi masing-masing lima sachet. Padahal, orang yang lewat sudah menenteng dua kardus besar. Dari uara, snak-anak kecil pengelana pelabuhan mencoba meminta beberapa bungkus serbuk minuman tersebut. Namun, hanya bentakan yang diterima.

Tak ada lagi menit...

Sonora penanda habisnya petang menggema di seluruh pelabuhan. Keluarga berpeluh, tiga perempuan bergincu terang, SPG pemaksa, dan ribuan manusia lainnya di pelabuhan ini menghentikan langkahnya, berdiam barang sejenak. Serentak, mereka membuka segel botol plastik air mineral dan meneguk airnya. Begitu diam, begitu selaras, hingga senyap sesaat, hanya beberapa detik sebelum langkah-langkah penuh harapan berlanjut hingga ke atas kapal.

Diam sejenak akan terulang lagi di pulau seberang ketika mereka duduk melingkar, mengotak, setengah lingkaran, di kursi maupun menyila, dengan manusia yang telanjur sayang dengan mereka, telanjur kangen selimut hiruk-pikuk seribu teriakan dari Jawa.

Beberapa detik kemudian...

Aku berlalu dari tangga yang mengarahkan penumpang ke atas kapal. Langkah ini berteriak ingin ke dermaga empat, tempat para pengendara truk tak sempat melingkarkan kehangatan kepada kampung si sana. Pun aku...

Tuesday, October 17, 2006

Hari Bulan Seribu

Entah sampai kapan aku terus melupakan bulan...

Beberapa tahun lalu, pada bulan tertentu, aku kerap berdiam diri di rumah Tuhan, memojok sendiri di keredupan pilar raksasa sebelah timur dari ruang utama. Aku berangkat tak sendiri, bergerombol dengan beberapa rekan tengah malam. Pukul tiga pagi, kami pun berkeliling Surabaya untuk makan sahur. Satu hari, pilihan jatuh di rumah makan kecil nan beken samping Stasiun Gubeng lama. Tak istimewa, nasi rawon, soto, pecel atau lele dan tempe penyet. Minuman standar, air putih atau es teh manis. Oh! tak lupa lalat!

Dua hari setelah itu, bertolaklah aku ke Medan, kota yang tak pernah musnah dalam setiap darah dalam venaku. Di angkasa pun, aku masih teringat bulan. Bulan yang menghantarku pada sujud yang tak berkesudahan, pada untaian kalimat syahdu yang menghancurkan kantung air mataku, bahkan mendobrak hati yang tak termaafkan akibat tak mampu memaafkan. Saat itu, aku sedang menuju ke saat dimana maaf punya arti yang tak hanya sekedar air mata. Oh, bisakah aku?

Beberapa tahun lalu, terkadang kudengar desiran angin malam yang dingin menggila, rintih ilalang yang merunduk ke bumi, kabut malam yang datang terlalu cepat, dan tuan jangkrik yang bernyanyi. Ah, itu hanya buaian Teluk Persia. Tapi...jauh di dalam hati, aku merasa dipeluk erat nan hangat...

Entah sampai kapan aku terus melupakan bulan...

Setahun silam, aku nyaris tak mengangkasa. Toh, ada saja waktu untuk bisa mencari makna air mata hingga aku bisa mengangkasa tepat ketika beribu orang bergempita. Toh, aku juga senang bergempita dengan opor ayam lima piring dalam lima jam.

Tapi, aku tak lagi ke rumah tuhan pada bulan seribu itu. Tak lagi merasakan angin mnenggila, tak melihat ilalang merunduk, tak menyentuh kabut kepagian, dan tak ada suara jangkrik. Itu semua tak ada di Mampang Prapatan.

Entah sampai kapan aku terus melupakan bulan...

Ketika tiap malam aku menyorot Dell hingga memerah mataku...
Ketika tiap malam aku harus ke ruang di depanku dan bertanya ritme sepatuku esok hari...
Ketika tiap malam aku bergegas setengah bugil dan melantunkan kalimat mimpi...

Dan meskipun bulan seribu itu bisa disebar ke hari-hari lain, toh mereka hanya ingin berkumpul bersama dalam satu hari.

Dan aku lupa kapan mereka berkumpul dan berkunjung ke pintu rumahku tahun ini...