Binocular Telescope

Tuesday, October 17, 2006

Hari Bulan Seribu

Entah sampai kapan aku terus melupakan bulan...

Beberapa tahun lalu, pada bulan tertentu, aku kerap berdiam diri di rumah Tuhan, memojok sendiri di keredupan pilar raksasa sebelah timur dari ruang utama. Aku berangkat tak sendiri, bergerombol dengan beberapa rekan tengah malam. Pukul tiga pagi, kami pun berkeliling Surabaya untuk makan sahur. Satu hari, pilihan jatuh di rumah makan kecil nan beken samping Stasiun Gubeng lama. Tak istimewa, nasi rawon, soto, pecel atau lele dan tempe penyet. Minuman standar, air putih atau es teh manis. Oh! tak lupa lalat!

Dua hari setelah itu, bertolaklah aku ke Medan, kota yang tak pernah musnah dalam setiap darah dalam venaku. Di angkasa pun, aku masih teringat bulan. Bulan yang menghantarku pada sujud yang tak berkesudahan, pada untaian kalimat syahdu yang menghancurkan kantung air mataku, bahkan mendobrak hati yang tak termaafkan akibat tak mampu memaafkan. Saat itu, aku sedang menuju ke saat dimana maaf punya arti yang tak hanya sekedar air mata. Oh, bisakah aku?

Beberapa tahun lalu, terkadang kudengar desiran angin malam yang dingin menggila, rintih ilalang yang merunduk ke bumi, kabut malam yang datang terlalu cepat, dan tuan jangkrik yang bernyanyi. Ah, itu hanya buaian Teluk Persia. Tapi...jauh di dalam hati, aku merasa dipeluk erat nan hangat...

Entah sampai kapan aku terus melupakan bulan...

Setahun silam, aku nyaris tak mengangkasa. Toh, ada saja waktu untuk bisa mencari makna air mata hingga aku bisa mengangkasa tepat ketika beribu orang bergempita. Toh, aku juga senang bergempita dengan opor ayam lima piring dalam lima jam.

Tapi, aku tak lagi ke rumah tuhan pada bulan seribu itu. Tak lagi merasakan angin mnenggila, tak melihat ilalang merunduk, tak menyentuh kabut kepagian, dan tak ada suara jangkrik. Itu semua tak ada di Mampang Prapatan.

Entah sampai kapan aku terus melupakan bulan...

Ketika tiap malam aku menyorot Dell hingga memerah mataku...
Ketika tiap malam aku harus ke ruang di depanku dan bertanya ritme sepatuku esok hari...
Ketika tiap malam aku bergegas setengah bugil dan melantunkan kalimat mimpi...

Dan meskipun bulan seribu itu bisa disebar ke hari-hari lain, toh mereka hanya ingin berkumpul bersama dalam satu hari.

Dan aku lupa kapan mereka berkumpul dan berkunjung ke pintu rumahku tahun ini...

1 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home