Binocular Telescope

Monday, August 31, 2009

meja makan

Rasanya ingin lagi duduk di meja makan bersamanya, di rumah menaranya. Hidangannya tidak pernah tampak mewah, tapi apa pun yang tersaji di atasnya tidak pernah mengecewakan. Kalau tak berselera, kubuka saja kulkasnya dan semua makanan mengejutkan ada di sana.

Lalu kami duduk di sofa menghadap televisi, sambil mengelu-elus kucing mirip rongrong yang mendengkur malas. Dia menjatuhkan badan dan kepalanya di badannya, sementara kaki-kakinya menendang-nendang kecil ke pahaku. Kapan terakhir dia mandi, tanyaku. Hari Senin kemarin, kamu tidak lihat pita baru yang melingkar di lehernya, dia menjawab. Pita itu merah dengan motif kucing-kucing kecil, dan ada liontin lonceng di tengahnya. Dia bercerita tentang hari-harinya yang membosankan, aku bercerita tentang hari-hariku yang kepanasan.

Hingga larut malam kami berbincang sampai aku terlalu malas untuk beranjak. Tapi aku harus pulang, karena ini bukan akhir pekan. Akhir pekan bukan milikku, dia bersama yang lain meski lewat telepon.

...hhh...
jadi...aku apa baginya?

Dan semalam aku berjanji untuk datang ke rumah menaranya, duduk di meja makannya, menyantap hidangan tak istimewa itu. Lalu, kami akan duduk di sofa depan televisi sambil mengelus-elus kucing yang mirip rongrong. Dia mendengkur di antara kami. Aku pasti terbang ke sana.

....sampai kapan, lik?....

NB: untuk dia yang selalu jadi alasan aku rela meninggalkan semuanya...

Wednesday, July 29, 2009

huee....

Mau nulis apa ya...
ntar aja lah, kalo ada ide.

Tuesday, June 16, 2009

perhatian!!

jangan pernah paksa saya untuk menerima amplop-amplop menjijikkan itu, kalau tidak mau melihat saya melemparnya persis ke wajah anda!!

ingat!!

Sunday, June 14, 2009

Amplop Sore Itu

X: Rul, kamu duluan aja ke taksi sama mas Y (fotografer-red).
Saya: oke!
(lalu saya berjalan cepat menuju taksi, dan terdengar percakapan basa-basi janggal)
Pak Z: makasi ya, ini ni...(sambil mengeluarkan amplop putih dari dalam saku celana)
X: nggak, nggak usah pak, kami sudah ada
Pak Z: ah, sudah lah, ambil saja, buat ongkos
X: nggak usah pak, saya jadi nggak enak
Pak Z: ambil saja, jangan gitu, dong...
X: waduh saya jadi nggak enak nih pak....makasi ya pak...

Adegan itu tidak saya lihat tapi tertangkap telinga sambil saya buru-buru masuk ke dalam taksi. Ketika dia masuk taksi, wajahnya sudah sumringah. Sesekali dia membuka tasnya, dan memeriksa sesuatu di dalamnya. Lalu sepanjang jalan, kami mengobrol dengan santai dan penuh tawa.

Katakan saya naif, bodoh, culun, terlalu idealis, dan apapun itu. Tapi coba tolong saya untuk bertahan pada prinsip amplop-amplop itu jauh dari hidup saya. Aneh saja ketika saya lihat dengan mata kepala sendiri rekan kerja menerima amplop itu. Mungkin saja di kantor-kantor terdahulu ada rekan yang terima, tapi tidak di depan mata saya.

Karena saya berdiri di atas prinsip yang saya junjung tinggi.

Sunday, May 24, 2009

Risiko si Bangsat

Satu sudah takluk. Kami bicara empat mata dalam ruang kecilnya, pada pukul 7.00 jumat malam. aku utarakan semua tentangku, siapa aku, apa yang aku lakukan, tentang hibernasi berkepanjangan ini. Lalu dia menangis, seoalah saya adalah satu yang berani diantara ribuan yang jadi pengecut di sini.

Mungkin aku salah menutuskan ini terlalu dini? tapi apakah aku punya kesempatan lain lagi? aku rasa tidak. Dan ini memang menjadi konsekuensi seorang pembohong yang keluar dari perusahaan raksasa, perusahaan yang bisa memberiku harta, prestise, dan semua mimpi untuk tetap memegang notes kecil dan pulpen. Tapi...aku adalah bangsat. Ini soal prinsip kejujuran.

Lalu, apakah aku akan mati di majalah ini? aku tidak tahu, bahkan aku tidak mau memikirkan itu. Yang aku tahu, bahwa semua yang aku tulis adalah tentang Golf. sempit memang, tapi itu adalah konsekuensi bagi seorang yang hanya punya pengalaman sebentar-sebentar di beberapa perusahaan. Kata orang aku bisa menjual diri, tapi hey! tidak sama sekali!

Jadi, aku akan tetap pada pendirian ini. Menjadi diri sendiri, melonggarkan keinginan semu. Ya, aku punya keinginan, ya ak ingin jalan-jalan keluar negeri. Tapi dengan sebuah kebebasan yang aku taruh di ransel atau di sela-sela buku perjalanan. Atau di dalam tas kameraku. Lalu suatu saat, kata Nuki, aku bisa menolong anak-anak miskin di India. Kalaupun tidak menolong, aku hendak memotret mereka, lalu memperlihatkannya pada dunia.

Itu semua sudah cukup. Majalah ini memberiku gaji lumayan, tinggal bagaimana aku mengatur keuanganku.

Kalau pun aku tidak menjadi apa-apa, itu adalah sebuah risiko seorang bangsat yang terus menerus tidak dewasa.

Itulah aku.

Wednesday, May 13, 2009

Mimpi Summer Camp

Seperti tidak ingin melepas masa itu rasanya, dan hanya tersenyum miris kala melintas jalan-jalan utama Jogja. Ini seperti candu untuk tetap mengenangnya, meski dia hanya bekas-bekas yang usang dan tak guna untuk diurai.

Malam itu saya melintas dari Hotel Pheonix menuju Bale Raos di Tamansari dengan becak. Menyusur Malioboro, melewati Pajeksan, Mirota, Bakmi Pele, Masjid Gedhe, membuat semua jejak itu hanya sejengkal untuk digapai. Itu semu, saya tahu.

Ya, kamu benar, summer camp bangsat itu lagi....
Bahkan saya sudah kehilangan kata-kata untuk mengatakan betapa saya rindu sekali kepada mereka, betapa saya bangga sekali bertemu dengan mereka, betapa saya hanya jadi yang terbangsat diantara mereka.

Mereka menganggap saya teman, itu saja, lebih dari cukup.


PS: semua untuk 10 dari 11

Tuesday, April 28, 2009

Cepat-cepat!

Bisa minta tolong cepat...

Saya Sudah muak di sini...