Binocular Telescope

Monday, May 14, 2007

lelucon ini tak lucu

Aku membenci kata “cinta”. Tapi kepadanya, aku berlutut dan menyuguhkan kata ini, bahkan dari relung hati terdalamku. Mungkin Tuhan sedang bermain-main dengan hatiku, entah kalau hatinya, dengan lelucon yang sama sekali tak lucu.

Malam itu, begitu juga malam-malam sebelumnya, aku mengetuk pintu rumahnya. Dia menyambutku dengan balutan daster yang itu-itu juga, dengan senyum tipis yang membuat hatiku menyejuk.

Aku duduk di satu kursi. Dia duduk di satu kursi lain di sampingku, sambil mengatupkan kedua lututnya dan menarik ujung daster itu hingga ke bawah lutut. Itu mungkin gerakan refleks perempuan yang memakai rok, aku tak peduli. Yang kunanti adalah saat dia mulai pembicaraan: sebuah tarikan napas panjang, bahu dan dadanya sedikit terangkat. Dan dengan satu hembusan napas panjang lagi, bahu dan dadanya kembali melemas.

“Hey, pulang kerja ya? Makan dulu nih,”
dan tak ada yang bisa menolaknya ketika dia sudah mengambilkan ini-itu ke piring di hadapanmu.

Mungkin aku menyesal telah mengenalnya, mungkin juga tidak, aku tak tahu. Tapi aku hanya tak mau rasa ini hancur ketika dia berhenti berpura-pura. Badan ini sudah telanjur membumbung tinggi dengan khayalan-khayalan yang tak guna. Dan aku sadar khayalan itu tak akan pernah tertambat, karena memang dia melambung pada ruang hampa yang tak terhingga luasnya.

Aku dan dia punya 1.000 topeng. Dia sedang memakai salah satu topeng itu, tapi aku tak tahu yang mana. Aku tidak memakai topeng, hanya sebuah hiasan mata yang kerap dipakai pada pesta mardi grass di Brazil, atau pesta topeng di Venice. Dia masih bisa melihat hidung dan bibirku, mungkin dia membaca apa yang kulantunkan, apa yang kenapaskan. Sementara lantunan dan napas naturalnya tersaring melalui topeng itu.

Itulah sebabnya kukatakan, Tuhan sedang bermain dengan lelucon yang sungguh-sungguh tak lucu.