Binocular Telescope

Monday, December 04, 2006

lantai dansa buat bang rhoma

Mata ini masih berteriak ingin menutup, mulut ini juga masih ingin terbuka lebar seenaknya.
Sial! aku dibangunkan pengamen 'kicik-kick' gaya heboh dengan permainan harmonika ala kadarnya.

Hampir dua jam aku tertidur di PO Moedah, bus yang membawaku dari Surabaya ke Bojonegoro. Aku terbangun setelah bus meninggalkan Babat, kota kecil dengan seribu wingko babat. Bukan karena hilang kantuk ini, tapi ada dendang Rhoma Irama yang entah apa judul lagunya. Lantas, darimana aku tahu itu lagu Bang Rhoma? Naluri dangdutku yang berkata! Siapa lagi yang bisa membuat lirik dangdut beribu petuah kalau bukan dia?!

Si pengamen yang sudah paruh baya itu memainkan kicik-kicik di tangan kanannya. Sebut saja itu kicik-kicik karena tak bisa pula disebut tamborin. Tangan kirinya terbuka lebar, naik-turun mengikuti naik-turun dengkulnya. Kepalanya yang memakai topi pet digeleng-gelengkan seolah sedang meninggi di lantai dansa. Untung saja matanya tidak terpejam!

Geli rasanya melihat dia, begitu asyik, begitu tinggi, begitu heboh, begitu Bang Rhoma! Bukan aku sendiri yang melihatnya geli. Salah satu penumpang perempuan di depanku bahkan sempat terkikik kecil melihat tingkah si pengamen.

Setelah dua lagu selesai dinyanyikan, dia mengambil jeda barang semenit sambil mengeluarkan harmonika dari saku jeans di belakang. Tak lama setelahnya, gaya heboh “lantai dansa” diatraksikan lagi. Kali ini, begini ritme lagu dan permainan harmonikanya:

Lirik satu bait-harmonika-satu bait-harmonika-satu bait-harmonika-dan begitu seterusnya hingga selesai lagunya...

Konyolnya lagi, dia melafalkan irama permainan gitar Bang Rhoma yang khas itu. melafalkan? Yak!

Jeng..jeng,jeng...jeng,jeng,jeng...tet,tet,tet,tot,tet,tot...na...na...na...na,ni,na,ne...
(bayangkan saja dia melafalkan itu dengan nada gitar Bang Rhoma!)

Hampir 20 menit dia menghibur penumpang, bukan “menghibur”, karena dia benar-benar menghibur. Pengamen itu mengucap salam dan terima kasih. Dia membuka topi pet dan menjulurkannya kepada para penumpang untuk dipenuhi recehan sekadarnya.

Bus pun kembali sepi, aku kehilangan kantuk. Sudah hampir dua jam aku duduk, bus tak kunjung sampai ke Bojonegoro. Aku mulai cemas dan menggerutu dalam hati.

Ah, sudahlah...

1 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home