Binocular Telescope

Monday, February 05, 2007

Sang Ratu, Raja Kopi, dan Teddy Bear

Ugh! Aku ke ujung timur pulau ini! Kalau tak bisa kubatasi keinginan ini, barangkali kini aku masih di Bali, lanjut ke Lombok...

Tugas membawaku ke Banyuwangi. Para pegawai negeri sipil berdemo, menuntut Bupati Ratna Ani Lestari lengser dari jabatannya. Mereka didukung sebagian kecil warga dan empat fraksi di DPRD, menyisakan satu fraksi yang masih mendukungnya sebagai bupati yang sah. Bupati Ratna tutup telinga. Tetap melenggang sana-sini, enggan menemui para demonstran. Bahkan, para kyai yang tergabung dalam Forum Ulama Banyuwangi Bersatu pulang gigit jari karena diusir, tanpa bertemu dengan sang ratu.

Banyak orang beranggapan aksi mogok dan demo ini dimotori oleh segelintir orang masih kecewa karena Ratna menang dalam Pilkada 2006 lalu. Sedikit yang bersuara kalau ini gerakan murni dari rakyat. Suaranya menjadi keras karena teriak-teriak pakai megaphone.

Lupakan cerita di atas. Aku dan seorang rekan dari Radio Mandala, berkunjung ke seorang penikmat kopi, sekaligus pemilik ratusan hektar kebun kopi. Seseorang yang rela keliling dunia untuk mencicipi beragam citarasa kopi. Seseorang dengan segudang alat pembuat kopi, espresso, capucino, dan semuanya. Baginya, kopi adalah misteri. Semakin banyak tahu, semakin banyak misteri kopi itu dia temukan, belum terkuak.

Si penikmat kopi yang ramah. Misinya sederhana. Negeri ini merupakan penghasil kopi terbesar kedua. Tapi tak ada citarasa yang mengesankan dari kopi-kopi yang ada. Maka, dia mulai bereksperimen, membuat kopi yang nikmat. Tak usahlah kujelaskan bagaimana rasanya. Tips darinya: kalau suka kopi pergilah ke coffee bean, jangan ke starbucks!

Bagiku, seduhan kopi campuran arabica dan robusta racikannya lebih dari cukup. Nikmat, hingga rasa asam itu lama menempel di mulut.

Dan keretaku pun berangkat pukul 23.00. Sementara inilah aku, seperti orang bodoh, kekenyangan makan rujak soto, pusing tujuh keliling mengatur rencana menghabiskan waktu. Jarum pendek jam tanganku mengarah ke angka 3.

Seorang rekan berkata, “Kalau belum ke Ijen, berarti belum ke Banyuwangi,”
Nah! Untuk menegaskan kalau aku sudah ke Banyuwangi, merengeklah aku untuk ke Ijen. Jarum pendek sudah ke angka 4. Rekan dari Radio Mandala tadi mengumpulkan pasukannya, berangkatlah kami berempat ke Ijen.

Sampai di kawasan perkemahan, langit semakin memerah. Kalaupun sampai di kawahnya pasti malam. Senter tak ada. Aku tanpa persiapan, hanya bercelana pendek, sepatu sandal. Naik? Yup!

Matahari sudah benar-benar hilang. Sekitar 40 menit aku dan seorang rekan sampai di pos bunder. Dua lainnya kembali ke bawah. Angin begitu kencang, bulu-bulu kakiku melandak. Tiba-tiba ada hasrat untuk memiliki hiasan dari belerang untuk dipajang di atas komputer kantor. Belilah aku satu. Ada-ada saja, si penjual di pos bunder itu menawarkan hiasan belerang berbentuk teddy bear!

Yah, meski tak sempat melihat kawah Ijen, setidaknya sudah sampai ke pos bunder dengan sebuah bangunan belanda yang menghiasinya. Atau menghantuinya? Karena tak seorangpun boleh tidur di dalamnya. Tak lama, kami turun, berlari sampai beberapa kali terpeleset, untung tak sampai jatuh. Jarum pendek ke angka 9, aku harus segera ke stasiun Karangasem.

Mutiara Timur terlambat hingga pukul 23.30 dan menjadi awal tragedi perjalanan pulangku...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home