Binocular Telescope

Tuesday, December 12, 2006

topeng si tikus got

siapakah aku? tolong jelaskan!
setelah aku memakai seribu topeng yang tak mudah dilepaskan.
ada beberapa orang yang mampu melepaskannya, tapi tangan mereka telah terikat kuat oleh lidah dengan sumpah yang mematikan.

aku lelah memakai topeng ini. sungguh, tuan...ini terlamapu berat...
tuan pikir aku sanggup? tidak...suatu saat aku akan melepaskannya juga, dan menjadi tikus bau di dalam got lagi.
tuan, tikus tidak akan sanggup bertopeng gajah dan bersuara harimau. tikus hanya mencicit dan lari kalau dilihat ribuan mata, akhirnya sembunyi dalam kegelapan.

kalau nyonya berpikir aku harus terus berusaha, maka itu yang aku lakukan. tapi topeng ini suatu saat akan terlepas juga. dia lapuk oleh hujan dan terik matahari, dia rapuh oleh debu dan pasir. topeng ini tak akan selamanya, nyonya. karena itulah aku menjerit ketika sadar menjadi tikus yang egois.

tuan, aku tidak peduli lagi dengan lingkungan yang tepat untuk topengku. aku tak pantas menjadi gajah yang bersuara harimau, nyonya. bahkan kalau segelintir orang-orang barat memintaku menahan topeng bahkan dengan kedua tanganku...maaf, aku tak punya lagi tangan.

ah, senangnya menjadi tikus got yang bersembunyi di bawah gorong-gorong dan memberi makan sesama mereka yang tak bertopeng.

Monday, December 04, 2006

dia tak senang melihatku makan sate kelinci, tapi...

"Kalo lo boleh milih, lo pingin ditempatin sama sapa?"
"Elo!" ujarnya sambil tertawa dan menyandarkan kepalanya ke bahuku.
"Kalo elo?" tanyanya balik
"Elo!" kataku sambil tersenyum.

Kami pun tertawa, kepalanya kembali singgah ke bahuku. Tangan kanannya masih merangkul tangan kiriku. tak ada yang tahu percakapan ini, rekan lainnya berjalan terlalu cepat di depan.

Si kurus itu mengorek semua tentangku hingga bisa kupanggil dia sahabat.

dan ketika dia tak lagi di sini, aku kehilangan setengah semangatku.
dia yang nakal telah membuka mulutku lebar-lebar untuk berbagi cerita apa saja, kapan saja. dia pernah ingin menamparku ketika aku makan sate kelinci. Tapi di saat lain, dia rela kubonceng berkeliling kauman subuh-subuh, mendengarkan keresahanku.
dia pernah terkikik saat aku menyebutkan kata-kata "lansuir" ketika yang lain sibuk menemukan nama yang tepat untuk "koran" kita
dia juga pernah cemberut ketika keju si ominyominyo aku makan. Tapi dia biarkan kupeluk kucing berbulu itu...(hingga setengah kucekik, saking gemasnya?)

"Madonna" yang tak sebahenol Madonna, dia rekan kerja terbaikku.

kami bersepeda menyusuri perkotaan dan persawahan di kota wali
aku dan dia sempat merasa aman di tengah senandung Al Quran dari para santri di penginapan Rp 20.000.
kami pernah makan belimbing hingga aku mencret, makan jambu hingga mulas.
pintar sekali dia berbahasa Jawa hingga aku tak tahan untuk berbahasa Jawa juga, meski dengan logat kasar Surabaya.
Aku dan dia juga sempat hitchin' a ride tanggung dengan mobil bak terbuka. ujung-ujungnya, ganti juga dengan angkot.
kami pernah kenal dengan kang iwan, seorang pegundah tulus yang punya seribu mimpi untuk mendapatkan kerja.
Bahkan aku senang melihatnya shalat di masjid itu.
Tapi kami tak sempat tidur sekamar, selantai

aku begitu senang ketika semua rekan mengira kami berdua akan ke padang
anjing! terpaksa kutangisi perpisahan kami, air mata itu hanya kami berdua yang tahu artinya

dia rekan sekaligus sahabat bagiku
hhh....aku kehilangan keduanya...

lantai dansa buat bang rhoma

Mata ini masih berteriak ingin menutup, mulut ini juga masih ingin terbuka lebar seenaknya.
Sial! aku dibangunkan pengamen 'kicik-kick' gaya heboh dengan permainan harmonika ala kadarnya.

Hampir dua jam aku tertidur di PO Moedah, bus yang membawaku dari Surabaya ke Bojonegoro. Aku terbangun setelah bus meninggalkan Babat, kota kecil dengan seribu wingko babat. Bukan karena hilang kantuk ini, tapi ada dendang Rhoma Irama yang entah apa judul lagunya. Lantas, darimana aku tahu itu lagu Bang Rhoma? Naluri dangdutku yang berkata! Siapa lagi yang bisa membuat lirik dangdut beribu petuah kalau bukan dia?!

Si pengamen yang sudah paruh baya itu memainkan kicik-kicik di tangan kanannya. Sebut saja itu kicik-kicik karena tak bisa pula disebut tamborin. Tangan kirinya terbuka lebar, naik-turun mengikuti naik-turun dengkulnya. Kepalanya yang memakai topi pet digeleng-gelengkan seolah sedang meninggi di lantai dansa. Untung saja matanya tidak terpejam!

Geli rasanya melihat dia, begitu asyik, begitu tinggi, begitu heboh, begitu Bang Rhoma! Bukan aku sendiri yang melihatnya geli. Salah satu penumpang perempuan di depanku bahkan sempat terkikik kecil melihat tingkah si pengamen.

Setelah dua lagu selesai dinyanyikan, dia mengambil jeda barang semenit sambil mengeluarkan harmonika dari saku jeans di belakang. Tak lama setelahnya, gaya heboh “lantai dansa” diatraksikan lagi. Kali ini, begini ritme lagu dan permainan harmonikanya:

Lirik satu bait-harmonika-satu bait-harmonika-satu bait-harmonika-dan begitu seterusnya hingga selesai lagunya...

Konyolnya lagi, dia melafalkan irama permainan gitar Bang Rhoma yang khas itu. melafalkan? Yak!

Jeng..jeng,jeng...jeng,jeng,jeng...tet,tet,tet,tot,tet,tot...na...na...na...na,ni,na,ne...
(bayangkan saja dia melafalkan itu dengan nada gitar Bang Rhoma!)

Hampir 20 menit dia menghibur penumpang, bukan “menghibur”, karena dia benar-benar menghibur. Pengamen itu mengucap salam dan terima kasih. Dia membuka topi pet dan menjulurkannya kepada para penumpang untuk dipenuhi recehan sekadarnya.

Bus pun kembali sepi, aku kehilangan kantuk. Sudah hampir dua jam aku duduk, bus tak kunjung sampai ke Bojonegoro. Aku mulai cemas dan menggerutu dalam hati.

Ah, sudahlah...